Kamis, 16 September 2010

The Power of Limit

Seringkali, tanpa kita sadari, hampir setiap hari kita terkadang mengeluhkan suatu keterbatasan yang ada di dalam diri kita, paling tidak. Atau keterbatasan lingkungan kerja kita, keterbatasan teman-teman kita, institusi kita, pemerintahan Negara kita, bahkan kemungkinan terburuk menyalahkan keterbatasan aturan agama kita. Mungkin tanpa kita sadari, terkadang kita berucap seperti ini, “ah, saya tidak bisa, saya kan tidak memiliki apa yang dibutuhkan” atau seperti ini, “ah, pantas saya nilai ujian saya jelek, saya kan susah mengerti pelajaran itu.” Atau seperti ini “pantas saja dia sukses, orang tuanya kaya-raya, ya pasti dia punya bekal segalanya untuk hidup sukses.”

Padahal, tanpa kita sadari, banyak sekali hikmah di dalam keterbatasan yang kita miliki. Logika sederhana tentang batas sebetulnya sudah kita dapatkan sejak kecil. Contoh sederhana, jika seekor ayam kita ikat, atau kita pegang dengan sangat erat, sudah pasti ayam tersebut akan berontak. Atau contoh lain, jika kita dikurung seharian di dalam kamar yang gelap, kotor, bau, pasti kita tidak tahan dan akan mencari cara untuk keluar dari kamar tersebut. Atau jika kita diikat, di pasung, pasti kita akan berontak dan akan melawan kepada orang yang memasung kita.

Jika tidak ada keterbatasan, bagaimana manusia akan saling berlomba membuat berbagai penemuan hebat untuk kesejahteraan umat manusia. Tanpa keterbatasan otak kita dalam berfikir dan mengingat, bagaimana komputer dapat tercipta untuk membantu hampir seluruh pekerjaan manusia di zaman modern dewasa ini. Jika manusia tidak memiliki keterbatasan berjalan dengan kedua kakinya, bagaimana mungkin berbagai alat transportasi tercipta sejak zaman Nabi Adam hingga Appolo mendarat di bulan. Jika manusia tidak memiliki keterbatasan di dalam berhitung, bagaimana mungkin ilmu matematika akan tercipta sebagai pelayan dan raja ilmu pengetahuan lainnya. Jika pengetahuan manusia tidak berbatas, bagaimana mungkin manusia memiliki dorongan untuk menembus 7 lapis langit dan 7 lapis bumi untuk menguak apa yang di dalamnya. Jika manusia memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, bagaimana manusia akan berlomba untuk menjadi penguasa yang baik dan menjadi khalifah yang adil dan bijaksana.

Itu hanya sedikit contoh hikmah dibalik keterbatasan yang manusia miliki. Tanpa keterbatasan itu, sesungguhya, manusia akan menjadi hampa. Sebagai ilustrasi, sebuah materi akan menjadi nyata jika memiliki batasan yang jelas akan wujud materi tersebut. Bahkan, sesuatu dianggap anti materi jika tidak memiliki wujud dan batasan yang jelas, dimana dia eksis. Pendapat ini secara tidak langsung menyanggah teori ketakhinggaan materi (loh....??). Begitupun manusia, seorang manusia akan dianggap ada oleh yang lain jika ia memiliki batasan dimana dia eksis, bagaimana ukuran pengetahuannya, dimanakah batas ia dapat berjalan, berinteraksi, dan lain-lain.

Bukan hanya keterbatasan secara wujud yang membuat manusia diakui oleh yang lain. Namun keterbatasan dalam lingkungan sosial membuat manusia jauh lebih dihargai oleh lingkungannya. Contoh kecil, seorang yang cacat secara fisik, dan seorang yang memiliki segala potensi fisik untuk menjadi hebat, jika mereka menghasilkan suatu karya yang sama-sama besar, sama-sama memiliki nilai yang membuat mereka dihargai, maka yang akan lebih dihargai oleh manusia adalah hasil karya orang yang cacat dibanding orang dengan segala potensi tersebut. Apa yang membuat dia dihargai sedemikian rupa ?. manusia memiliki naluri akan keterbatasan yang dia miliki, maka manusia akan menghargai seberapa besar usaha seseorang untuk menembus batas yang mengurungnya, daripada usaha orang yang memang sudah memiliki segala hal yang dapat mendorong dia. Karena secara implisit, usahanya tidak sebanding dengan orang yang memiliki keterbatasan dalam segala hal.

Contoh lainnya, dalam kehidupan seorang pelajar misalnya. Seseorang yang tidak punya kemampuan apa-apa di dalam pelajaran fisika, jika meraih nilai yang sama besarnya dengan orang yang memang sudah dianggap pintar di dalam pelajaran fisika, maka dia akan lebih dihargai oleh teman-temannya dari orang yang pintar. Bukan menafikan usaha orang yang pintar diatas, namun, di dalam rentang waktu yang sama, kondisi yang sama, usaha setiap orang mungkin berbeda-beda meski hasilnya sama. Oleh karena itu, meskipun secara naluriah kita menghargai proses daripada hasil, tetap saja hasil akan menjadi suatu ukuran penilaian orang lain untuk kita.

Telah banyak tokoh-tokoh dunia yang lahir dengan keterbatasan mereka. Einstein, sempat dianggap bodoh oleh guru-guru sekolah dasarnya di jerman. Orville dan Wilbur Wright, jika manusia bisa terbang, tak mungkin kedua anak pemilik bengkel sepeda tersebut dapat menciptakan pesawat terbang. Hellen keller, wanita buta tuli, yang kemudian mendirikan yayasan untuk orang-orang cacat sedunia. Louis Braille, jika dia tidak buta, maka seluruh tuna netra di dunia ini tidak akan pernah bisa membaca. Octavianus Augustus caesar, tidak akan pernah menjadi penguasa tunggal romawi jika kekuasaannya tidak dibatasi oleh senat romawi dan kedua pesaingnya, Mark Antonius dan Lepidus. Bahkan, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw, menjalani hidup dalam penuh keterbatasan. Lahir dalam keadaan yatim, kemudian menjadi yatim piatu 6 tahun kemudian, menjadi penggembala kambing karena lahir di dalam keluarga miskin, di kucilkan ketika berdakwah, namun, apa yang diberikan oleh beliau melebihi pencapaian tokoh-tokoh dunia yang lain. Keterbatasan beliaulah yang dinilai oleh Michael H. Hart untuk menjadi #1 tokoh paling berpengaruh di dalam sejarah manusia.

Oleh karena itu, sangat tidak layak kita mengeluh akan keterbatasan kita. Karena sesungguhnya, Allah menciptakan kita serba terbatas untuk memberikan dorongan agar kita mendobrak batasan-batasan tersebut dan saling berlomba untuk menjadi yang terbaik di antara seluruh manusia. Semakin terbatas kita, maka sesungguhnya Allah ingin menjadikan kita untuk menjadi manusia yang terbaik diantara yang lain. Selain itu, dengan keterbatasan kita, kita dituntut untuk bersyukur atas apa yang kita miliki, bukan dengan mengeluhkan apa yang kita tidak miliki. Namun untuk berkaca, “saya yang memiliki ini saja, usaha saya masih kurang, bagaimana orang yang tidak memiliki apa yang saya miliki.” Karena sesungguhnya, keterbatasan adalah kekuatan fundamental kita untuk menjadi pendobrak batasan-batasan yang kita miliki.

ingatlah, ketika kita menemukan keterbatasan dalam hal apapun itu, baik sarana, finansial, mental, fisik, intelektual, emosional, dan lain-lain, sesungguhnya, disanalah letak kita bisa menjadi orang besar dengan mengalahkan keterbatasan kita.....

Kamis, 09 September 2010

"Minal 'Aidin wal Faizin" tidak sama dengan "Maaf Lahir Batin"

sebelumnya saya ucapkan selamat hari raya fitri, 1431 H, laqod roja'naa min jihaadi shoghir, ilaa jihaadi kabiir, minal 'aaidiin wal faaizin, asta'fikum alfan alfin isti'faafan 'ala jami'i khotoyaa ilaikum jami'an. Taqobbalallahu minnaa wa minkum shiyamanaa wa shiyaamakum, Taqobbal yaa kariim....

sering sekali kita mendengar kata-kata minal 'aidin wal faizin disandingkan dengan kata-kata mohon maaf lahir dan batin. terutama di iklan-iklan di televisi yang sering kita lihat, sehingga kita sebagai konsumen entertainmen tersebut sering kita ucapkan atau kirimkan lewat sms saat idul fitri menjelang. sehingga, secara tidak langsung, dengan mengirimkan kata minal 'aidin wal faizin, kita serasa sudah mengucapkan kata mohon maaf lahir dan batin, serta merasa terwakili dengan kalimat tersebut.

namun, apakah benar, bahasa arab dari mohon maaf saat idul fitri itu "minal 'aidin wal faizin"?. mari kita kaji secara harfiyah (walaupun saya tidak tahu apa-apa). kalimat "minal 'aidin wal faizin" sebetulnya adalah penyingkatan dari kalimat panjang ucapan do'a serta permintaan maaf dan harapan yang saya sebutkan diatas. namun, orang indonesia lebih sering menyingkatnya menjadi minal 'aidin wal faizin agar dapat disandingkan dengan kalimat mohon maaf lahir dan batin. mungkin agar rimanya serasi, atau apa sebabnya saya tidak tahu. kalimat minal 'aaidin wal faizin mempunyai arti sebagai berikut "dari orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan orang-orang yang menang (dalam berjihad)".

kalimat tersebut jika diartikan, akan menjadi kalimat yang rumpang dan tidak baku, karena diawali dengan konjungsi, oleh karena itu, kalimat tersebut harus disandingkan dengan kalimat sebelumnya, yaitu "roja'naa min jihaadi shoghir ilaa jihaadi kabiir" yang berarti "kita telah kembali dari jihad yang kecil (melawan hawa nafsu) kepada jihad yang besar (melawan mush-musuh Islam)" sehingga akan menjadi kalimat baku, dan akan lebih lengkap jika disandingkan dengan kalimat sesudahnya, yaitu, "taqobbalallahu minna wa minkum, shiyamanaa wa shiyaamakum" yang artinya "semoga Allah menerima puasa kami dan puasa kalian semua".sehingga menjadi kalimat seperti ini "ROJA'NAA MIN JIHAADI SHOGHIIR, ILAA JIHAADI KABIIR, MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN, TAQOBBALALLAHU MINNA WA MINKUM SHIYAAMANAA WA SHIYAMAKUM, TAQOBBAL YAA KARIIM" yang arti lengkapnya seperti ini "KITA TELAH KEMBALI DARI JIHAD KECIL MENUJU JIHAD YANG LEBIH BESAR. (OLEH KARENA ITU, KAMI,) DARI ORANG-ORANG YANG KEMBALI (KEPADA FITRAH) DAN ORANG-ORANG YANG MENANG (DALAM BERJIHAD) , (MENGUCAPKAN) SEMOGA ALLAH MENERIMA PUASA KAMI DAN PUASA KALIAN SEMUA, TERIMALAH YA ALLAH, AMIN."

sedangkan, kalimat yang lebih umum di ucapkan untuk meminta maaf dalam bahasa arab, adalah "ASTA'FIIKUM ALFAN ALFIN IST'FAAFAN" yang artinya "saya meminta maaf kepada kalian semua, dengan harapan beribu maaf dari kalian". jadi, kalimat minal 'aidin wal faizin sebetulnya belum mewakili kalimat yang panjang sebagai ucapan doa dan permintaan maaf, karena menjadi kalimat yang rumpang jika disingkat seperti di atas. namun, untuk mengucapkan permintaan maaf yang lebih singkat, bisa menggunakan kalimat "asta'fiikum walfan alfin ist'faafan" yang mempunyai arti permintaan maaf secara langsung.

oleh karena itu, hendaknya kita tidak menyingkat atau memperpendek kalimat doa tersebut menjadi minal 'aidin wal faizin karena kalimat tersebut sesungguhnya adalah doa agar ibadah kita selama bulan ramadhan (yang bisa juga diartikan jihad melawan hawa nafsu) diterima oleh Allah swt. dan agar kita tidak mencerna bulat-bulat apa yang kita dapat dari entertainmen di televisi atau media infiormasi dan telekomunikasi lainnya, karena kita adalah bangsa yang kritis dan kreatif yang selalu menyaring apa yang kita dapatkan.

silahkan sebarkan artikel ini agar menjadi bacaan bagi umat islam seluruhnya.